Lalu, Kita ini Apa

    Sebuah dering telepon berdering di tengah malam, dering tersebut sengaja kubuat berbeda dari telepon orang lain, agar aku tahu yang menelepon juga orang yang spesial. Meski malam itu, kembali tak ada cerita yang spesial yang kau ceritakan. Hanya tentang kegiatan hari ini dan masalah-masalah kecil yang kau alami. Tak ada yang berbeda, tapi itu yang membuatnya spesial. Hari esok datang menyongsong begitu cepat, tak terasa jam telah menunjukkan pukul 2 pagi. Telepon genggam yang sedari tadi menempel di telingaku mulai memanas, memaksaku menatap layarnya yang menunjukkan 4 jam lebih telah berlalu. Aku meminta untuk menyudahi terlebih dahulu, Sehubung ada aktivitas pagi nanti yang tak bisa diusik, ia mengiyakan seraya kututup dengan pertanyaan yang sama untuk kesekian kalinya, "Lalu, kita ini apa?" Yang selalu kamu jawab dengan cekikikanmu yang khas sembari berkata, "Sudah malam, nanti lagi ya." Aku hanya dapat menghela napas sambil tersenyum, kemudian mendongak melihat langit malam yang bermandikan bintang

    Malam ini, telepon itu berdering lebih cepat dari biasanya, dengan terkejut aku mengangkatnya. Tak terdengar sapaannya yang begitu nyaring, hanya isak tangis yang terdengar di seberang. Telepon tersebut kusambungkan dengan earphone seraya aku memakai jaket dan mengambil kunci motorku. Isak tangis itu menemaniku selama perjalanan, sebelum kujawab dengan singkat, "sini turun." Dari seberang telepon terdengar suara derit pintu, kemudian disambung dengan suara sendal jepit yang beradu dengan tangga kayu. Pintu depan terbuka dan aku pura-pura tersenyum lebar melihat wajahnya yang memerah karena tangis yang berkepanjangan. Dia perlahan mendekat kemudian menyapa dengan pukulan keras ke bagian perutku, aku hanya bisa merintih kecil sambil memberikan helm kepadanya. Malam itu langit tak berbintang, awan menutupi langit seolah malu berseri-seri dihadapannya. Kemudian kami pergi, tanpa tahu hendak kemana. Yang aku tahu, setelah 2 putaran keliling kota diselingi dengan mengisi bensin, tangis tadi berubah menjadi tawa yang membuatku bisa bernapas lega saat mengembalikannya ke kosannya. Pertanyaan tersebut ingin kutanyakan kembali, seraya ia mengembalikan helmku. Namun rasanya tak tega rasanya mengingat senyumannya baru saja kembali. Aku melambaikan tangan sambil menuntun motorku kembali ke jalan.

    Esoknya, sebuah kabar kuterima dari orang lain yang tak bisa kutolerir. Aku memakinya dan tak melirik pesannya kembali. Malam hari, aku menunggu ia selesai dengan kesibukannya seperti biasa. Aneh. Tak ada dering masuk hari ini, aku beranjak dari meja dan mulai menjamah kasurku. Kubuka salah satu sosial media berbagi foto dan video, dan cerita darinya langsung muncul. Sesosok pundak dengan jaket jeans biru muda terpampang di ceritanya. Aku hanya bisa bergumam pada diriku sendiri, "Jadi, ini jawabnya."

Komentar

Postingan Populer